Moda transportasi sepeda salah satu jenis usaha yang terlihat di Pare. Sepeda adalah transportasi vital untuk bermobilisasi dalam kegiatan belajar, kegiatan bersosialisasi dan kegiatan mencari kebutuhan hidup yaitu makan. Letak geografis kecamatan Pare yang datar sangat nyaman untuk bersepeda dan tidak membuat kita terlalu ngos-ngosan. Selain itu, tradisi bersepeda telah ada sejak dahulu sebelum kawasan ini dibanjiri motor dan mobil seperti 2 tahun belakangan ini. Sudah menjadi kebiasaan, anak-anak sejak kecil di persenjatai sepeda untuk bepergian. Jadi tidak hanya di Desa Tulungrejo saja warga bersepeda, tapi mungkin seluruh Pare atau seluruh Kediri telah memiliki budaya bersepeda.
Rata-rata persewaan sepeda sekitar Rp 50.000,00 namun ada juga yang Rp 75.000,00 dan Rp 70.000,00 tergantung baru dan tidaknya sepeda tersebut. Untuk menyewa sepeda selain membayar uang sewa kita juga harus memberikan jaminan kartu identitas seperti KTP atau SIM. Ukuran sepeda juga bervariasi karena para pemilik persewaan sepertinya menyediakan berbagai jenis ukuran dan jenis sepeda sesuai minat penyewa dari tahun ke tahun. Persewaaan sepeda juga berlaku di kos-kosan yang memberikan syarat bahwa warga kosan tersebut harus menyewa sepeda di tempat kos. Persewaan seperti ini tidak banyak. Yang lazim, di sepanjang jalan Brawijaya dan gang-gang di dalamnya biasanya menjajakan sepeda dalam berbagai kondisi dan harga. Penyewa bisa bebas memilih.
Kondisi sepeda yang disewakan berbagai macam dari yang masih mulus alias baru sampai dengan yang cukup tua. Sepeda tua pun jangan diragukan kemampuannya untuk bekerja karena banyak bengkel sepeda di sini yang setia mendandani dan menservisnya. Bahkan dipersewaan sepeda biasanya juga menyediakan jasa servis. Demikian juga bila ban bocor, tidak susah untuk menambalkannya.
Kali pertama saya hendak memilih sepeda di penyewaan, saya agak keder dengan usia sepeda yang kelihatannya sudah tua. Ini terlihat dari warna sepeda yang kusam dan setengah karatan. Ini persoalan persepsi penyewa, lalu saya juga keder dengan kemampuan saya bersepeda itu sendiri. Seingat saya, terakhir saya bersepeda adalah waktu kuliah di Bandung yang berakhir dengan saya menabrak becak. Kejadian itu kira-kira 19 tahun yang lalu. Alhasil, saya menurunkan standar kemampuan saya pada tahap paling minim yaitu tidak bisa bersepeda. Hal lain yang membuat saya keder adalah jalan Brawijaya desa Tulungrejo adalah jalanan yang ramai. Bus patas, truk besar kecil, truk tronton, sepeda motor, mobil biasa melaju dengan cepat dijalanan tersebut. Pak Mul, tempat saya menyewa sepeda menyuruh saya mencobanya dulu. Demikian juga suami saya. Begitu saya coba, ternyata wussssss….!!! saya langsung melaju dengan sedikit menggak menggok pada awalnya. Setelah beberapa kali bolak balik mencoba, pak Mul mengatakan bahwa saya sebenarnya sudah bisa naik sepeda, sebaiknya memilih sepeda ukuran biasa saja, hanya sadel duduk disesuaikan kebutuhan saya.
Setelah mencoba beberapa sepeda dan memilih satu dengan mengepaskannya, mulailah petualangan saya hari itu dengan suami mencari kosan dan tempat belajar. Selama menggunakan sepeda tersebut, kebiasaan saya untuk mengerem dengan kaki tidak pernah hilang, kegugupan saya bila bertemu atau papasan dengan manusia, belokan dan kendaraan lain juga mengganggu pada awalnya. Untung saya ditemani suami untuk bersepeda. Alhasil teriakannya dan kemauannya yang kuat untuk memaksa saya bersepeda dengan benar selama seharian membawa hasil. Sejak pagi hingga sore saya bersepeda membuat saya tahu mengendalikan sepeda dan mengurai kegugupan di jalanan. Meski sampai sekarang, bila ingin menyeberang ke kiri atau ke kanan saya selalu berhenti dan menuntun sepeda, namun itu semua terasa wajar dan tidak mengganggu. Belajar mengendarai sepeda di Pare dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari menjadi terasa romantis buat saya.
Lanskap geografis yang datar meski ada turunan dan tanjakan tidak terlalu ekstrim membuat kegiatan bersepeda sangat menyenangkan. Pertama kalinya sejak saya meninggalkan Jakarta 6 tahun yang lalu perasaan saya kembali enjoy karena bisa bermobilisasi kemana-mana sendiri. Sepeda menghilangkan gap ketakutan akan kecepatan yang selama ini menghantui saya bila ingin bersepeda di Jogjakarta dan Magelang. Mungkin setelah ini sekembali ke Jogjakarta, saya akan membawa kembali sepeda saya di rumah untuk saya bawa ke jogjakarta, atau saya akan membeli yang baru untuk kebutuhan saya di sana nanti.
Budaya bersepeda di Pare dan di daerah agraris telah ada sejak jaman dulu. Lahan-lahan pertanian yang luas dan kebutuhan membawa rumput untuk ternak menjadikan sepeda sebagai salah satu aset keluarga petani sejak dulu. Disini kita masih bisa menyaksikan sepeda-sepeda model lama dan gagak namun masih digunakan setiap saat. Namun sayang sekali, seiring perkembangan jaman, dimana kredit motor dan mobil begitu mudah dan murah, kegiatan bersepeda mulai berkurang. Hanya bapak dan ibu tua, perempuan muda dan anak sekolah yang menggunakan sepeda di Pare. Para laki-laki muda dan manusia produktif lebih senang bermotor roda dua kemana-mana. Keasyikan yang diserap pada pendatang yang ingin belajar bahasa di Pare untuk bersepeda berkurang. Irama kehidupan menjadi riuh dengan suasana kendaraan akan menyebabkan frekuensi otak kita naik pada sisi alfa. Kita selalu berada pada keadaan waspada, bergairah, panik, cemas dill. Hilang sudah frekuensi beta yang nyaman yang selama ini menentramkan orang tinggal di Pare. Tuntutan jaman menyebabkan kedamaian kehidupan agraris menghilang secara perlahan dan kita akan merindukannya lewat film-film dan episode masa lalu.
Sepeda oh sepeda….jangan engkau hilang dalam peradaban jaman…